Selasa, 07 September 2021 18:23:23
Bagi sebagaian orangtua, media sosial dapat menjadi album digital
tempat menyimpan dan membagikan foto serta video pertumbuhan anak-anak
mereka.
Meski memiliki niat baik, namun nyatanya hal itu bisa sangat berbahaya bagi keamanan anak.
Dijelaskan oleh social media specialist Yulia Dian, dunia mengenal
istilah sharenting. Sharenting sendiri berasal dari dua suku kata yaitu
share, yang berarti membagikan; dan parenting, yang berarti orangtua.
Kata Yulia, dalam praktiknya, sharenting kerap dibarengi dengan
pemahaman literasi digital yang rendah hingga dapat berujung pada
praktik eksploitasi anak.
"Sharenting yang buruk itu ketika
orangtua melakukan share secara berlebihah. Apalagi praktik sharenting
tidak dibarengi dengan pemahaman literasi digital yang dapat berujung
pada eksploitasi anak," kata Yulia Dian, dikutip Suara.com dalam rilis
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 beberapa waktu lalu,
Yulia mengatakan, ada beberapa alasan mengapa orangtua melakukan
sharenting, salah satunya adalah perasaan membutuhkan validasi.
"Orangtua baru membutuhkan validasi dan apresiasi atas apa yang mereka lakukan di dunia nyata lewat media sosial," tambahnya.
Alasan lain orangtua melakukan sharenting adalah, dengan memposting
konten dan informasi terkait anak, orangtua membutuhkan feedback atau
timbal balik, serta nasihat.
Ditambahkan Yulia, ada beberapa tanda orangtua telah terjangkit sharenting.
Tanda tersebut adalah tidak ada lagi privasi; jadi mudah terpancing
saat disebut oversharing; ponsel selalu siap untuk abadikan momen anak;
dan unggahan media sosial hanya tentang orangtua dan anak saja.
Padahal, lanjutnya, sharenting bisa memiliki efek negatif seperti rasa iri sesama orangtua dengan anak.
"Efek sharenting itu bisa rasa iri jika postingan mengadung barang mahal sehingga menimbulkan kecemburuan sosial," lanjutnya.
Selain itu, efek negatif lain sharenting adalah bocornya beberapa informasi detail anak, orang asing yang jadi mengenal anak.
Ada juga risiko foto dan video anak diambil orang lain tanpa diketahui
dan berpotensi menjadi korban pedofilia, ada potensi digital kidnapping,
risiko pembulian karena jejak digital anak serta kemungkinan anak akan
protes karena orangtua tidak menjaga privasinya.
*Sumber: suara.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar