Selasa, 17 Desember 2019 16:23:07
Raisa suatu hari pulang dalam keadaan menangis. Tak mau ditanya, ia langsung menuju kamar dan mengunci pintu. Ibunya bingung, walau terbesit insting bahwa ini karena pacarnya. Baru beberapa bulan ini Raisa mengaku pacaran dengan teman sekolahnya, Ryan. Tapi, Ibu merasa ada yang tidak beres dengan Ryan, atau hubungan mereka. Semenjak pacaran, Raisa jadi jarang bertemu teman-temannya, dan Ryan hampir setiap hari mengantar Raisa. Belum lagi, telepon rumah yang berdering terus setelahnya. Ya, dari Ryan. Awalnya, Raisa terlihat bahagia, tapi belakangan ia terlihat tertekan. Kali ini, Ibu tak mau lagi tinggal diam. Ia mengetuk pintu kamar Raisa, menemukan anak perempuannya mengalami memar di wajah, dan di kedua lengannya. Ibu berusaha tenang, ia ingat nasehat dari seorang psikolog, Dr. Emilita Krisanti Cornain, MAPS, FCCLP dan berikut yang harus dilakukan.
Tenang, jangan panik
Situasi ini sudah cukup menakutkan untuk anak, jangan ditambah dengan kepanikan Anda. Tarik nafas panjang, berusaha tenang. Perlihatkan pada mereka, bahwa Anda ada untuk membantu, bukan untuk menghakimi. Jika Anda merasa tidak bisa melakukannya sendiri, ajak pasangan untuk duduk bersama (dengan seizin anak, tentunya). Buat anak senyaman mungkin untuk mengungkap semua dengan Anda.
Validasi perasaan dan pengalaman mereka
Simpati dan empati sangat penting di situasi ini. Mengerti bahwa mereka sedih, bingung dan mungkin merasa sulit untuk mengakhiri hubungan dengan pacarnya. Berusaha bersikap objektif dan memposisikan diri sebagai mereka. Mulai dengan kalimat, “Ayah/Ibu perhatikan, ada yang berbeda dengan kamu. Ada bekas memar di badan dan kamu terlihat sedih. Mau nggak, sharing apa yang terjadi? Ayah/Ibu akan berusaha bantu jika itu yang kamu butuh.”
Ingatkan (lagi) tentang hubungan yang sehat
Ingatkan anak apa itu pacaran yang sehat. Biarkan mereka mencerna, apakah hubungan yang sedang mereka jalankan termasuk dalam pacaran yang sehat, atau justru sebuah masalah yang harus mereka hindari. Keputusan ada di tangan mereka, dengan catatan masih dalam kondisi fisik dan mental yang sehat. Jika tidak, Anda berhak untuk melarang mereka melanjutkan hubungan.
Pastikan anak tahu kekerasan yang terjadi padanya
Untuk kekerasan fisik, tentu ia dan Anda bisa melihat kasat mata. Namun, terkadang sulit untuk mengukur kekerasan emosi atau verbal, ini beberapa diantaranya:
• Pacar marah ketika kita ingin meluangkan waktu bersama teman
• Keluar kata-kata yang tidak layak yang ditujukan untuk kita
• Mengontrol hidup kita (mulai dari cara berpakaian, memilih teman-teman, mengecilkan kita dan merendahkan percaya diri)
• Mengancam dan mengakses semua data pribadi, termasuk sosial media
• Memaksa melakukan sesuatu yang kita tidak nyaman melakukannya
Orangtua pacar harus terlibat, jika..
Anak sudah mengalami kekerasan yang tidak wajar, baik emosi maupun fisik dan Anda sudah memiliki cukup bukti. Bukti disini dalam arti Anda sudah paham cerita dan pengalaman anak. Jika kekerasan berat, maka bukti visum mungkin diperlukan. Anda juga perlu paham tujuan dari diskusi, yaitu mencari solusi dan pertanggungjawaban (jika) sang pacar memang terbukti menyakiti anak.
Jika diskusi tidak menemukan titik terang, maka..
Jelaskan bahwa ini bukan perkara sepele. Jika usia anak lebih dari 18 tahun, kekerasan dalam pacaran bisa dilaporkan diantara tiga kategori pasal. Pasal 351 KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 352 KUHP untuk penganiayaan sedang dan pasal 354 KUHP untuk penganiayaan berat. Jika anak belum mencapai usia 18 tahun, maka pelaku penganiayaan dapat dijerat dengan pasal 76C jo, pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”).
*Sumber: kumparan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar