Pages

Rabu, 31 Oktober 2018

Waspada...Serangan Jantung Intai Usia Produktif!

Rabu, 31 Oktober 2018 18:37:20

Waspada...Serangan Jantung Intai Usia Produktif!

Anto belum genap berusia 40 tahun saat tiba-tiba mengeluh adanya rasa tidak enak di bagian dada. Nyeri dada itu semakin berat ketika sedang beraktivitas dan akhirnya Anto segera dilarikan ke rumah sakit. 

Ayah dua anak ini ternyata mengalami serangan jantung dan harus menjalani kateterisasi jantung. Semuda usia 40 tahun terkena serangan jantung dan harus kateterisasi?

Saat ini, banyak orang berpikir bahwa penyakit jantung identik dengan usia tua sehingga kebanyakan usia produktif merasa aman. Mereka pun cenderung tidak pernah memeriksakan jantung. Pola hidup yang tidak sehat juga tetap dijalankan kalangan generasi muda.

Prevalensi penyakit kardiovaskular cenderung meningkat dari tahun ke tahun. WHO (World Health Organization) memprediksi, penyakit kardiovaskular akan menyebabkan kematian lebih dari 23 juta jiwa per tahun pada 2030.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2013, penyakit jantung koroner sudah mencapai 12,1 persen dari populasi. Yang lebih mengejutkan, riset itu menyatakan 39 persen di antaranya merupakan kelompok berusia kurang dari 44 tahun, sedangkan 22 persen berasal dari kelompok usia 15 hingga 35 tahun.

Modernisasi yang terjadi secara perlahan namun pasti berdampak pada pergeseran kelompok usia penderita penyakit jantung dari usia senja ke usia produktif.

Berbagai kemudahan dan kenyamanan yang kita dapatkan dari teknologi yang kian maju justru membuat pola hidup menjadi tidak sehat.

Pekerja usia produktif cenderung memiliki waktu kerja yang panjang, bekerja di belakang meja (sedikit bergerak), tidak mengkonsumsi makanan yang sehat, dan tidak berolahraga.

Dokter Spesialis Jantung Siloam Hospitals Kebon Jeruk yang juga tergabung dalam Siloam Heart Institute, dr. Antono Sutandar, Sp.Jp-K mengatakan bahwa pola hidup yang tidak sehat dan stres memiliki peran cukup besar menyebabkan penyakit jantung pada usia muda.

Berdasarkan Interheart studi, terdapat 9 faktor risiko yang dapat meningkatnya penyakit jantung koroner (PJK), yaitu kolesterol tinggi, merokok, stres, diabetes, tekanan darah tinggi, abdominal obesitas (perut lebih besar daripada bokong), tidak mengkonsumsi alkohol sama sekali, tidak berolahraga, serta kurang mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan.

“Sejak Perang Dunia II, kita mengalami perubahan diet yang drastis untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan. Bahan pangan yang semula merupakan hasil pertanian sekarang bergeser menjadi hasil olahan industri seperti tepung terigu dan gula. Porsi makanan olahan di dalam kehidupan kita juga semakin meningkat. Perubahan pola inilah yang makin menyebabkan penyakit jantung bergeser ke usia yang lebih muda,” katanya kepada Kompas.com, Rabu (3/10/2018).

Menurut dr. Antono, PJK bisa dicegah dengan memperhatikan faktor-faktor risiko tersebut. Namun, terdapat beberapa faktor risiko yang tidak dapat kita ubah seperti faktor keturunan, usia, dan jenis kelamin.

Seseorang yang memiliki anggota keluarga dengan riwayat PJK atau mati mendadak sebelum usia 55 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena penyakit jantung.

“Di samping itu, semakin bertambahnya usia, risiko untuk terjadinya semua bentuk penyakit kardiovaskular akan meningkat pula. Dan hanya pada pria, risiko terkena PJK meningkat menjadi dua kali lipat. Orang-orang dengan faktor risiko seperti di atas sebaiknya melakukan skrining jantung lebih awal,” tambahnya.

Skrining jantung awal yang bisa dilakukan adalah dengan ECG stress test. Ini merupakan prosedur sederhana di mana pasien diminta melakukan treadmill sambil irama jantungnya direkam dengan ECG.

ECG stress test ini memiliki akurasi 60-70 persen untuk mengetahui adanya penyempitan pada pembuluh darah jantung. Jika didapatkan kelainan pada ECG stress test pasien akan diminta untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti stress echo, CT scan jantung, tes nuklir, atau kateterisasi.

dr. Antono menjelaskan bahwa perkembangan teknologi kesehatan dapat menurunkan angka mortalitas pasien yang masuk dengan serangan jantung. Namun, pencegahan atau diagnosa dini penyakit jantung merupakan lini pertama yang harus diperkuat.

Pil in the pocket

Bento dan Toni merupakan sahabat karib. Saat sedang memancing bersama, Bento mengeluhkan rasa tidak nyaman pada dada kirinya. Nyeri tersebut bisa ditunjuk dengan satu jari dan berkurang jika dia sedikit membungkuk.

Toni lalu memberikan cedocard kepada Bento. Ia mengatakan, pil dapat menghilangkan nyeri dada. Tak lama setelah meminum obat tersebut, Bento merasa pusing dan akhirnya pingsan.

Dari kisah tersebut, niat baik saja tidak cukup untuk membantu sesama, apalagi terkait nyeri di dada. Jika salah penanganan, bisa-bisa penderita justru mengalami kondisi lebih buruk.

Cedocard atau isosorbide dinitrat adalah obat yang bekerja untuk merelaksasi pembuluh darah jantung. Biasanya obat ini diletakkan di bawah lidah dan digunakan pada pasien dengan angina (nyeri dada karena penyempitan pembuluh darah jantung).
Sayangnya, pengetahuan masyarakat yang minim berakibat banyaknya kesalahan dalam pemberian obat ini.

“Delapan dari sepuluh orang dengan nyeri dada yang meminum cedocard ternyata bukan merupakan serangan jantung,” ujar dia.

Cedocard yang digunakan tanpa indikasi yang tepat dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah yang drastis sehingga menyebabkan kondisi pingsan atau mau pingsan.

Pemberian 2 butir aspirin 100 miligram (mg) memberikan efek samping yang lebih sedikit daripada cedocard. Namun, pemberian obat tersebut hanya untuk orang yang tidak memiliki alergi terhadap aspirin.

dr. Antono menjelaskan, nyeri dada penyakit jantung memiliki karakteristik yang khas. Nyeri tersebut harus terjadi pada saat beraktivitas, peningkatan aktivitas, atau emosi tinggi.

Penyebabnya, jantung bekerja lebih keras saat beraktivitas dibandingkan saat beristirahat.

Nyeri dada yang terjadi saat beristirahat namun tidak terjadi saat beraktivitas atau emosi tinggi bukanlah ciri khas nyeri dada karena jantung.

Ciri khas berikutnya, nyeri dada khas jantung biasanya tidak bisa ditunjuk dengan 1 jari dan bukan nyeri di permukaan.

“Biasanya ada rasa tidak nyaman yang berasal dari dalam (belakang tulang dada) dan terasa seperti ditekan oleh balok kayu yang berat. Nyeri dada ini juga tidak dapat berkurang dengan perubahan posisi, menarik napas, ataupun asupan makanan.

Nyeri dada ini juga bisa disertai dengan penjalaran ke rahang, ulu hati, tangan kiri atau kanan, sampai ke punggung,” kata dr. Antono. Nyeri tersebut berlangsung minimal sampai 5 menit. Nyeri dada yang terjadi kurang dari 1 menit walaupun terjadi di dada sebelah kiri, bukan merupakan nyeri dada khas jantung.

“Jika Anda mengalami nyeri dada yang tidak hilang lebih dari 30 menit kemudian semakin berat dengan aktivitas, saya anjurkan Anda segera datang ke UGD terdekat,” ujarnya.

Tahapan Penyakit Jantung Koroner

dr. Antono Sutandar, Sp.JP-K yang juga menjabat sebagai Vice Chairman Siloam Heart Institute menjelaskan bahwa penyakit jantung koroner terdiri atas tiga fase.

Fase pertama merupakan fase penyempitan pembuluh darah jantung karena penumpukan kolesterol. Pada fase ini, pasien bisa ditangani dengan obat-obatan saja dan perubahan pola hidup untuk mengontrol faktor risiko yang ada. Namun, apabila penyempitan yang terjadi cukup parah maka dapat dilakukan pemasangan cincin ataupun bedah jantung (bypass) untuk mencegah terjadinya serangan jantung.

Fase kedua terjadi jika ada gumpalan darah yang menyumbat dan menyebabkan serangan jantung. Pada fase ini belum terjadi kerusakan otot jantung sehingga perlu dilakukan pemberian fibrinolitik atau primary angioplasty secepat mungkin untuk membuka pembuluh darah yang tersumbat untuk mencegah terjadinya kerusakan otot jantung.
Sementara itu, fase ketiga terjadi ketika serangan jantung sudah mengakibatkan kerusakan otot jantung. Pengobatan pada fase ini tergantung dari berapa besar dan lama kerusakan otot jantung yang terjadi. Penanganan bisa dilakukan dengan obat-obatan, angioplasty atau bedah jantung untuk membuka pembuluh darah dan menyelamatkan otot jantung yang masih dapat diselamatkan.

Jumlah operasi jantung di Indonesia kini sekira 4.000 kasus per tahun. Jumlah ini masih tergolong sangat sedikit dibandingkan dengan potensi kasus bedah jantung yang berjumlah lebih kurang 20.000 kasus per tahun.

Studi juga menerangkan bahwa sekira 2.000 pasien memilih untuk melakukan prosedur operasi di luar negeri. Hal ini menggambarkan ketidakpercayaan masyarakat Indonesia terhadap kualitas pelayanan jantung di Indonesia.

Berdasarkan situasi inilah, Siloam Heart Institute (SHI) didirikan oleh Siloam Hospitals Group yang berpusat di Siloam Hospitals Kebon Jeruk. SHI diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat Indonesia. Dengan begitu, masyarakat bisa mendapatkan pelayanan jantung yang komprehensif dan lengkap yang sama baiknya walaupun berada di dalam negeri.

*Sumber: kompas.com

Sabtu, 27 Oktober 2018

Mengurai Gagasan Keislaman dalam Media

Sabtu, 27 Oktober 2018 11:26:56

Mengurai Gagasan Keislaman dalam Media

Peresensi: Zakiyatur Rosidah

menciptakan banyak fungsi dan sangat memengaruhi banyak aspek, di antaranya aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, stabilitas negara, bahkan ideologi dan agama. Media dan agama menjadi hal yang tak terpisahkan. Selain menjadi sumber informasi, media yang mengusung label ‘agama’ sebagai bagian dari ideologinya agaknya mempunyai daya tawar tersendiri dan mampu menarik perhatian pembaca secara khusus. Misal, media Islam di Indonesia, khususnya memiliki pandangan dan ideologi yang bermacam-macam meskipun berada pada payung yang sama; Islam, sehingga produk yang dihasilkan dan ‘dijualnya’ merupakan produk jurnalistik yang berbeda konten maupun tekniknya.

Kemudian, beberapa media lokal seperti Republika, Sabili, Tempo, dan media negeri Jiran seperti Malaysiakini, dan Harakah menjadi objek kajian Janet Steele, Seorang peneliti berkebangsaan Amerika. Janet Steele merupakan Assosiate Professor of Journalism di George Washington University cum Direktur Institute for Public Diplomacy and Global Communication. Ia secara khusus meneliti  perkembangan jurnalistik, media, dan Islam selama lebih kurang 20 tahun terakhir.

Penelitian tersebut berhasil mematahkan stigma dan pandangan sebagian besar orang Barat, khususnya yang mempunyai pemahaman monolitik mengenai Islam dan jurnalisme. Orang Barat sebagian masyarakat lain berpikir tentang Timur Tengah, budaya Arab, pers yang dikontrol ketat, bahkan terorisme. Padahal di Asia Tenggara juga terdapat negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jadi, segala sendi kehidupan termasuk praktik media yang dijalankan tak terlepas dari itu. Di Indonesia dan Malaysia, misalnya, sebuah pemberitaan yang dihasilkan tidak hanya melawan kekuasaan yang sewenang-wenang, namun juga terdapat tanggung jawab moral terhadap Tuhan.

Di bagian kata pengantar, Janet Steele mengungkap bahwa banyak wartawan muslim Indonesia dan Malaysia paham akan gagasan Barat mengenai prinsip jurnalisme seperti kebenaran, keberimbangan, verifikasi, dan independensi. Yang membedakan ialah mereka kerap menggambarkan prinsip tersebut dengan ayat Alquran dan hadis. Pun banyak akademisi yang mendefinisikan jurnalisme islami sejalan dengan karakter-karakter sesuai ajaran Islam dengan mengusung misi amar ma’ruf nahi munkar.
Misalnya, prinsip jurnalisme mengenai keberimbangan (cover both sides) dan verifikasi. Mereka sering mengutip ayat: “Wahai orang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik yang membawa berita, telitilah berita itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahuan sehingga kalian akan menyesali apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Penelitian yang dirangkum dalam buku setebal 304 halaman ini juga berisi tentang praktik pelaporan profesional para jurnalis yang bergelut di lima kantor berita terkemuka. Seperti Harakah, misalnya. Kantor berita ini ditempati oleh banyak wartawan yang berafiliasi dengan partai politik Islam. Malaysiakini, media independen yang mengambil peran sebagai oposisi pemerintah Negeri Jiran dan praktiknya dipengaruhi oleh pengotakan etnis dan agama. Sabili, majalah terkemuka yang mempekerjakan jurnalisnya sebab mempunyai kemampuan dakwah dan propaganda Islam. Islam yang direpresentasikan Sabili adalah literalis, skriptualis, dan fundamentalis. Republika, menjadikan masyarakat muslim sebagai segmen pembaca utama. Meskipun berusaha menyajikan jurnalisme professional yang membincang demokrasi dan keadilan sosial, pertanyaan besarnya ialah apakah Republika benar-benar melayani kepentingan pembaca atau hanya memuaskan keinginan mereka saja. Pun, Tempo, majalah berita progresif yang mengusung pluralisme. Terlepas dari pendiriannya, Tempo memberi ruang untuk para cendekiawan muslim progresif yang menyerukan pembaruan dan pemikiran Islam.

Janet menyimpulkan bahwa wartawan Muslim di Indonesia dan Malaysia sebetulnya menjunjung tinggi prinsip dasar jurnalisme yang sama. Hanya saja cara mereka dalam memahami prinsip-prinsip tersebut berbeda. Begitu juga dengan nilai-nilai tempat mereka berpijak. Namun yang terpenting adalah, perjuangan demi keadilan dan perlindungan terhadap yang lemah menjadi ideologi jurnalisme.

Janet Steele menutup bab kesimpulan dengan pernyataan yang menarik, “terlepas apakah Islam merupakan justifikasi atau penjelasan bagi jurnalisme yang baik, kisah tentang jurnalisme Islam modern adalah titik tolak yang familier dan liberal untuk melawan titik tolak Islam ekstrem. Dalam dunia tempat Islam sering digambarkan sebagai lawan demokrasi dan pluralism, perjuangan  demi keadilan, dan membela hak orang-orang lemah masih mungkin.” (hal. 44)

Janet menegaskan bahwa buku ini menyoal jurnalisme dan Islam. Namun bukan tentang teologi tetapi lebih tentang serangkaian praktik.  Bukan tentang apa itu Islam, namun lebih tentang apa yang Muslim lakukan. Dengan pemaparan lima media tersebut, kiranya buku ini telah memberikan informasi yang cukup bagaimana media ‘Islam’ dan para jurnalisnya bekerja. Selamat membaca.

Judul : Mediating Islam; Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim Asia Tenggara
Penulis : Janet Steele
Penerjemah : Indradya Susanto Putra
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : I, Februari 2018
Tebal buku : xi + 289 halaman
ISBN : 978-602-291-459-4

* Domisili Bojonegoro yang sedang berkuliah di UIN Walisongo Semarang jurusan Pendidikan Matematika.

Rabu, 17 Oktober 2018

Konflik Bisa Bikin Hubungan dengan Kekasih Lebih Kuat

Rabu, 17 Oktober 2018 14:27:33

Konflik Bisa Bikin Hubungan dengan Kekasih Lebih Kuat

Tak sedikit orang yang menghindari konflik dan perdebatan dengan kekasihnya. Alih-alih mengutarakan hal yang mengganjal, banyak orang memilih untuk diam dan memendam isi hatinya. 
Banyak hal yang menjadi alasannya, padahal konflik dan perdebatan dalam sebuah hubungan sebetulnya adalah hal yang baik. Lho, kenapa ya?

"Di Indonesia, yang namanya debat dianggap masalah, sesuatu yang buruk, negatif, atau bikin hubungan hancur. Makanya kalau ada ketidakpuasan dikubur."
Hal itu diungkapkan Relationship Coach dan Pendiri KelasCinta.com, Lex de Praxis dalam seminar bertajuk "Relationship Blueprint" yang diselenggarakan di Grand Orchardz Kemayoran, Jakarta, Sabtu (13/10/2018).

Ia menambahkan, ketidakpuasan yang dikubur dalam hati, lama-kelamaan akan mengakar dan tumbuh, lalu ketika muncul ke permukaan akan lebih susah diperbaiki.
"Ketika cewek bilang: 'Kamu enggak bisa dibilangin!' itu berarti "pohonnya" sudah besar. Kadang cowoknya juga menganggap dirinya bisa mengatasi sendiri," tuturnya.

Lex menjelaskan, banyak laki-laki yang terkadang kurang peka, malas ribet, atau sibuk sehingga enggan memperdebatkan masalah kecil.
Sedangkan pihak perempuan, biasanya, malas bicara dan lebih memilih memendam hal yang ingin diutarakannya.

Ketika si perempuan tidak pernah bicara, pihak laki-laki merasa hubungannya tak ada masalah. Padahal, perempuan tersebut merasa pasangannya tidak peduli, tidak mendukungnya, atau memberi batasan.

Lex mencontohkan ketika seorang laki-laki dan perempuan sudah membina hubungan bertahun-tahun dan si perempuan sudah berekspektasi menikah di tahun tertentu. Perempuan itu berharap segera dinikahkan.

Namun, si laki-laki tak kunjung menunjukkan pergerakan sehingga si perempuan kesal dan terus mengomel. Menganggap pasangannya tidak peka. Padahal, ia sendiri tak pernah mengutarakan keinginannya secara jelas.

"Ini masalah kebanyakan orang Indonesia," kata dia.
Konflik memang tak terhindarkan dalam sebuah hubungan. Namun, ketika konflik itu muncul, salah satu pihak harus berani bicara. Di sisi lain, pihak lainnya juga harus bersedia mendengar.

Pertengkaran dalam hubungan adalah hal yang sehat. Hal yang tidak sehat adalah melibatkan emosi, seperti saling menuduh dan memaki. Ketika emosi sudah dilibatkan, jarang sekali ditemukan solusi.
"Padahal kalau si cewek bilang masalahnya dari hari awal, akan langsung dikoreksi. Banyak laki-laki memerlukan instruksi yang jelas. Misalnya, minta jemput dua kali seminggu, dan sebagainya. Tapi kalimat yang keluar: kamu enggak care, lebih peduli sama keluarga kamu. Lho, itu kan tuduhan," kata Lex.

"Ketika tuduhan keluar, masalah utamanya bisa enggak selesai. Akibatnya malah jadi bertengkar masalah lain."
Menurutnya, kunci mengatasi konflik dalam hubungan bukanlah menghilangkan atau mengubur konflik tersebut, melainkan membahasnya dan mencari penyelesaian.

Meski terdengar mudah, namun hal ini sulit dipraktikkan oleh banyak orang. Sehingga alasan "ketidakcocokan" sering menjadi alasan pasangan suami-istri yang bercerai.
Padahal, pasangan yang mampu mengelola konflik dalam hubungannya cenderung akan semakin kuat dan solid.

"Justru setelah kita berhasil menyelesaikan konflik, kita akan makin kuat. Ingat enggak ketika awal pacaran, lalu ada masalah dan berhasil menembus masalah itu? Setelah itu makin intim, makin cocok," ucap Lex.

"Makanya kalau ada masalah, tekan terus, jangan menjauh. Agar semakin lama semakin beradaptasi dan akhirnya 'klik'."

*Sumber: kompas.com

Senin, 15 Oktober 2018

Mengapa Menggaruk Daerah yang Gatal Rasanya Begitu Nikmat?

Senin, 15 Oktober 2018 15:15:20

Mengapa Menggaruk Daerah yang Gatal Rasanya Begitu Nikmat?
 
Satu dekade lalu, para ilmuwan masih berpikir bahwa gatal merupakan jenis lain dari rasa sakit, tapi dalam bentuk lebih ringan yang menggunakan reseptor serupa di epidermis untuk menyampaikan pesan kimia dan listrik ke tulang belakang dan ke otak untuk mengatakan sesuatu yang menyakitkan.

Namun, kita sekarang tahu bahwa gatal sebenarnya memiliki sirkuit spesifiknya sendiri, yang melibatkan senyawa kimia dan selnya sendiri.

Secara teknis, gatal atau yang dalam dunia medis dikenal sebagai pruritus merupakan sebuah reaksi alami untuk melindungi kulit dari parasit dan penumpukan sel-sel mati.

Sebagai lapisan paling luar dari tubuh, akan menjadi masuk akal ketika kulit secara biologis mengembangkan sistem pertahanan diri seperti menggaruk. Namun, sampai saat ini para ilmuwan masih belum sepenuhnya memahami bagaimana gatal dan garuk berubah menjadi sensasi kenikmatan yang unik.

Seperti dilansir dari Science Alert, Sabtu (13/10/2018), ternyata menggaruk daerah yang gatal membentuk sinyal rasa sakit tingkat rendah untuk masuk ke otak dan mengganti sinyal gatal berubah menjadi rasa lega pada kita. Itulah sebabnya mencubit atau menampar di tempat yang gatal, sensasinya juga sama seperti menggaruk.

Saat kita menggaruk bagian yang gatal, maka otak kita juga akan mengeluarkan hormon serotonin yang akan mengurangi rasa gatal. Namun, hormon ini berlaku hanya sementara.

Pasalnya, justru serotoninlah yang sebenarnya dapat mempermudah sinyal gatal untuk muncul kembali. Itulah mengapa kadang ketika kita menggaruk daerah yang gatal, rasa gatal tidak hilang begitu saja, tetapi muncul di sekitar wilayah yang sama atau di tempat lain.

Gatal juga bisa disebabkan oleh kerusakan pada saraf yang menyebabkan rasa gatal tak terkendali yang dikenal sebagai gangguan pruritus. Beberapa kasus gatal seperti ini dapat disebabkan oleh infeksi virus yang mempengaruhi sistem saraf. Ada juga kondisi gatal yang disebabkan alergi, seperti pruritus aquagenik setelah kontak dengan air.

Semua hal yang disebutkan di atas dapat membuat tubuh menjadi gatal tanpa sebab yang jelas dan tidak bisa selesai hanya dengan menggaruk. Dalam hal ini, tindakan medis, seperti pemberian anestesi, diperlukan.

Pada dasarnya, rasa gatal dan cara mengatasinya sudah diketahui manusia, bahkan sejak abad ke-13.

Contohnya dapat dilihat pada daun mentol yang digunakan untuk meredakan kulit gatal di China kuno dan kamper, bahan kimia dari pohon cemara yang secara historis digunakan untuk membuat bahan peledak, telah digunakan untuk kulit yang gatal sejak abad ke-13.

Perlu diingat, terkadang rasa gatal bukan cuma hal yang ada di permukaan kulit. Rasa gatal bisa terjadi akibat dari sesuatu yang tidak tepat jauh di dalam tubuh kita.

Sampai saat ini, para ilmuwan masih terus mencari tahu tentang respons gatal yang aneh dan unik sehingga di masa depan, kita mungkin akhirnya dapat mematikan rasa gatal yang tak terkendali untuk selamanya.

http://health.kompas.com/read/2018/10/13/210600623/
mengapa-menggaruk-daerah-yang-gatal-rasanya-begitu-nikmat-