Sabtu, 27 Oktober 2018 11:26:56
Peresensi: Zakiyatur Rosidah
menciptakan banyak fungsi dan sangat memengaruhi banyak aspek, di antaranya aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, stabilitas negara, bahkan ideologi dan agama. Media dan agama menjadi hal yang tak terpisahkan. Selain menjadi sumber informasi, media yang mengusung label ‘agama’ sebagai bagian dari ideologinya agaknya mempunyai daya tawar tersendiri dan mampu menarik perhatian pembaca secara khusus. Misal, media Islam di Indonesia, khususnya memiliki pandangan dan ideologi yang bermacam-macam meskipun berada pada payung yang sama; Islam, sehingga produk yang dihasilkan dan ‘dijualnya’ merupakan produk jurnalistik yang berbeda konten maupun tekniknya.
Kemudian, beberapa media lokal seperti Republika, Sabili, Tempo, dan media negeri Jiran seperti Malaysiakini, dan Harakah menjadi objek kajian Janet Steele, Seorang peneliti berkebangsaan Amerika. Janet Steele merupakan Assosiate Professor of Journalism di George Washington University cum Direktur Institute for Public Diplomacy and Global Communication. Ia secara khusus meneliti perkembangan jurnalistik, media, dan Islam selama lebih kurang 20 tahun terakhir.
Penelitian tersebut berhasil mematahkan stigma dan pandangan sebagian besar orang Barat, khususnya yang mempunyai pemahaman monolitik mengenai Islam dan jurnalisme. Orang Barat sebagian masyarakat lain berpikir tentang Timur Tengah, budaya Arab, pers yang dikontrol ketat, bahkan terorisme. Padahal di Asia Tenggara juga terdapat negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jadi, segala sendi kehidupan termasuk praktik media yang dijalankan tak terlepas dari itu. Di Indonesia dan Malaysia, misalnya, sebuah pemberitaan yang dihasilkan tidak hanya melawan kekuasaan yang sewenang-wenang, namun juga terdapat tanggung jawab moral terhadap Tuhan.
Di bagian kata pengantar, Janet Steele mengungkap bahwa banyak wartawan muslim Indonesia dan Malaysia paham akan gagasan Barat mengenai prinsip jurnalisme seperti kebenaran, keberimbangan, verifikasi, dan independensi. Yang membedakan ialah mereka kerap menggambarkan prinsip tersebut dengan ayat Alquran dan hadis. Pun banyak akademisi yang mendefinisikan jurnalisme islami sejalan dengan karakter-karakter sesuai ajaran Islam dengan mengusung misi amar ma’ruf nahi munkar.
Misalnya, prinsip jurnalisme mengenai keberimbangan (cover both sides) dan verifikasi. Mereka sering mengutip ayat: “Wahai orang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik yang membawa berita, telitilah berita itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahuan sehingga kalian akan menyesali apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Penelitian yang dirangkum dalam buku setebal 304 halaman ini juga berisi tentang praktik pelaporan profesional para jurnalis yang bergelut di lima kantor berita terkemuka. Seperti Harakah, misalnya. Kantor berita ini ditempati oleh banyak wartawan yang berafiliasi dengan partai politik Islam. Malaysiakini, media independen yang mengambil peran sebagai oposisi pemerintah Negeri Jiran dan praktiknya dipengaruhi oleh pengotakan etnis dan agama. Sabili, majalah terkemuka yang mempekerjakan jurnalisnya sebab mempunyai kemampuan dakwah dan propaganda Islam. Islam yang direpresentasikan Sabili adalah literalis, skriptualis, dan fundamentalis. Republika, menjadikan masyarakat muslim sebagai segmen pembaca utama. Meskipun berusaha menyajikan jurnalisme professional yang membincang demokrasi dan keadilan sosial, pertanyaan besarnya ialah apakah Republika benar-benar melayani kepentingan pembaca atau hanya memuaskan keinginan mereka saja. Pun, Tempo, majalah berita progresif yang mengusung pluralisme. Terlepas dari pendiriannya, Tempo memberi ruang untuk para cendekiawan muslim progresif yang menyerukan pembaruan dan pemikiran Islam.
Janet menyimpulkan bahwa wartawan Muslim di Indonesia dan Malaysia sebetulnya menjunjung tinggi prinsip dasar jurnalisme yang sama. Hanya saja cara mereka dalam memahami prinsip-prinsip tersebut berbeda. Begitu juga dengan nilai-nilai tempat mereka berpijak. Namun yang terpenting adalah, perjuangan demi keadilan dan perlindungan terhadap yang lemah menjadi ideologi jurnalisme.
Janet Steele menutup bab kesimpulan dengan pernyataan yang menarik, “terlepas apakah Islam merupakan justifikasi atau penjelasan bagi jurnalisme yang baik, kisah tentang jurnalisme Islam modern adalah titik tolak yang familier dan liberal untuk melawan titik tolak Islam ekstrem. Dalam dunia tempat Islam sering digambarkan sebagai lawan demokrasi dan pluralism, perjuangan demi keadilan, dan membela hak orang-orang lemah masih mungkin.” (hal. 44)
Janet menegaskan bahwa buku ini menyoal jurnalisme dan Islam. Namun bukan tentang teologi tetapi lebih tentang serangkaian praktik. Bukan tentang apa itu Islam, namun lebih tentang apa yang Muslim lakukan. Dengan pemaparan lima media tersebut, kiranya buku ini telah memberikan informasi yang cukup bagaimana media ‘Islam’ dan para jurnalisnya bekerja. Selamat membaca.
Judul : Mediating Islam; Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim Asia Tenggara
Penulis : Janet Steele
Penerjemah : Indradya Susanto Putra
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : I, Februari 2018
Tebal buku : xi + 289 halaman
ISBN : 978-602-291-459-4
* Domisili Bojonegoro yang sedang berkuliah di UIN Walisongo Semarang jurusan Pendidikan Matematika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar