Senin, 13 September 2021 17:20:37
Pandemi COVID-19 membuat risiko seseorang mengalami gangguan jiwa dan masalah kejiwaan meningkat. 
 Bahkan menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana 
Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, risiko depresi meningkat pada ibu, 
akibat beban dan tanggung jawab yang bertambah. 
 Hasto 
menjelaskan pandemi COVID-19 menyebabkan seorang ibu harus mendominasi 
peran dalam suatu keluarga. Beberapa peran yang dilakukan yaitu mengasuh
 anak, membelikan kebutuhan rumah tangga, mengingatkan kebutuhan hidup 
sehat, mengingatkan beribadah serta mengingatkan keluarga untuk selalu 
berfikir positif. 
 Berdasarkan data survei yang dilakukan oleh 
pihaknya, dominasi peran tersebut mengakibatkan sebanyak 2,5 persen 
perempuan telah mengalami depresi selama masa pandemi COVID-19. 
 Masalah pada ibu selanjutnya yang dia beberkan, walaupun pemerintah 
telah melakukan sosialisasi vaksinasi dinyatakan aman untuk ibu hamil, 
rupanya masih banyak ibu hamil yang ragu untuk melakukan vaksinasi. 
 Ia mengatakan hal ini perlu menjadi perhatian bersama mengingat angka kematian ibu dan bayi telah meningkat selama pandemi. 
 “Padahal dari literatur sudah jelas. Itu bisa kita kerjakan dan tidak 
masalah. Oleh karena itu saya kira sosialisasinya seperti ini (penting 
dilakukan). Bagi BKKBN, ini penting karena kematian ibu dan bayi 
meningkat selama pandemi,” kata dia. 
 Menurutnya, permasalahan yang harus dihadapi oleh keluarga di Indonesia selama masa pandemi COVID-19 meningkat. 
 Kemiskinan yang menyebabkan angka pengangguran meningkat, menjadi 
permasalahan serius bagi pihaknya karena berpengaruh terhadap jumlah 
anak yang mengalami kekerdilan (stunting). Hal tersebut terjadi karena 
pendapatan yang berkurang, membuat anak mengalami keadaan wasting (gizi 
pada anak tidak terpenuhi) meningkat sehingga menjadi lebih kurus. 
 Hasto menegaskan kondisi tersebut dikhawatirkan dapat mempengaruhi masa
 depan bangsa Indonesia yang memiliki sebanyak 23 juta anak baduta (bayi
 usia dua tahun). 
 “Ini khawatir kalau angka anak kurus 
meningkat, maka kemudian akan menjadi stunting. Ingat bahwa kita punya 
baduta sebanyak 23 juta, sehingga ini dua juta mengalami kondisi kurus, 
kemudian kalau berlanjut tiga bulan, enam bulan akan menjadi stunting,” 
kata Hasto. 
 Guru Besar Bidang Ketahanan dan Pemberdayaan 
Keluarga Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia 
IPB Euis Sunarti mengatakan mengatakan pandemi COVID-19 sangat berdampak
 pada food insecurity (kerawanan pangan) keluarga. 
 “Relatif 
tingginya food insecurity, kerawanan pangan tentunya akan berdampak pada
 status gizi keluarga khususnya balita. Tentunya program untuk 
menurunkan stunting, menjadi tantangan tersendiri pada saat COVID-19,” 
kata Euis. 
 Ia mengatakan bila melihat kondisi strategi pangan 
yang dimiliki keluarga pada masa pandemi, dapat memungkinkan angka 
wasting ataupun stunting mengalami peningkatan. 
 Berdasarkan 
data penelitian yang Euis miliki, sebanyak 47,3 persen keluarga 
menghemat pengeluaran untuk membeli bahan pangan. Penghematan tersebut 
menyebabkan sebanyak 73,1 persen keluarga beralih membeli bahan pangan 
yang memiliki harga lebih murah. 
 Sebanyak 47,3 persen keluarga 
mengurangi jenis-jenis lauk yang dikonsumsi serta satu dari lima 
keluarga atau sebesar 21,5 persen telah mengurangi porsi makan dalam 
keluarga. 
 Euis mengatakan masalah pendapatan pada keluarga 
dapat memberikan dampak pada kesehatan. Masalah tersebut dapat semakin 
memburuk apabila kepala keluarga yang sedang mencari sumber nafkah, 
belum tentu menemukan pekerjaan ataupun bantuan sosial. 
 
“Masalah-masalah dalam keluarga juga cukup besar karena jika pendapatan 
menurun maka kesehatan keluarga juga menurun. Sehingga ketika mencari 
sumber nafkah tetapi kemudian saat mencari pun belum tentu dapat, 
mencari dukungan sosial yang dilakukan juga lebih sedikit dari yang 
mencari sumber pendapatan,” kata dia. 
 *Sumber: suara.com
 
                            
Tidak ada komentar:
Posting Komentar