Senin, 05 Juli 2021 17:41:28
Demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi penyakit menular berbahaya di
Indonesia. Data nasional dari bulan Januari hingga Juni 2021
menunjukkan ada lebih dari 95 ribu kasus DBD di Indonesia, dengan korban
meninggal sebvanyak 661 orang.
Kenaikan kasus demam berdarah
dengue ini patut menjadi perhatian serius, mengingat Indonesia juga
tengah dilanda pandemi Covid-19 sejak Maret 2020, yang sudah menginfeksi
lebih dari 2,2 juta orang dan menewaskan 60.000 lainnya.
Guru
Besar Ilmu Kesehatan Anak dari Universitas Indonesia, Prof Sri Rezeki
Hadinegoro, mengatakan bahwa meningkatnya kasus demam berdarah dengue di
tengah pandemi Covid-19 berisiko membuat rumah sakit dan fasilitas
kesehatan mengalami double burden alias beban ganda penyakit infeksi.
"Ini kemudian menjadi double burden, ada dua masalah infeksi yang hadir
bersamaan di satu negara. Jadi semua fasilitas kesehatan mulai dari
puskesmas hingga rumah sakit yang canggih ruang ICU-nya semuanya
terkonsetrasi untuk Covid-19. Sampai-sampai dengue ini agak terlupakan,"
ujar Prof Sri dalam sesi wawancara khusus ISNTD-ADVA World Dengue Day
Forum - Cross Sector Synergies, beberapa waktu lalu.
Tingginya
angka pasien Covid-19 yang menjalani perawatan di rumah sakit bukan
omong kosong. Data dari Satgas Covid-19 menunjukkan, bed occupancy rate
alias keterisian tempat tidur di rumah sakit saat ini mencapai lebih
dari 72 persen.
Terlebih, Prof Sri mengatakan dengue dan
Covid-19 memiliki gejala awal yang sama, yakni demam tinggi, batuk,
pilek, dan nyeri di sejumlah bagian tubuh.
Ia khawatir, dengan
tingginya peningkatan kasus Covid-19 saat ini, penanganan DBD di
sejumlah daerah mengalami penurunan yang bisa berakibat terhadap
meningkatnya jumlah kasus dan juga korban meninggal.
Apalagi,
faktor penularan dengue berbeda dengan Covid-19. Jika Covid-19 menular
antara orang ke orang, dengue menular melalui perantara nyamuk Aedes
Aegypti.
Dalam kasus Dengue, nyamuk menjadi perantara dan sulit
dikendalikan. Apalagi dengan kondisi iklim tropis di Indonesia, membuat
nyamuk senang berkembang biak.
"Ini yang kemudian membuat nyamuk berkembang biak. Belum perumahan dan
kampung-kampung yang rapat. Nyamuk Aedes itu senang sama orang, bukan
karena cantik atau cakep, tapi bau keringatnya itu yang dia suka," papar
Prof Sri lagi.
Pennggunaan Teknologi untuk Penanganan Demam Berdarah Dengue
Prof Sri mengatakan sebagai negarah endemis demam berdarah dengue,
Indonesia seharusnya memiliki program penanganan yang komprehensif.
Namun hingga saat ini, penanganan demam berdarah dengue masih terpaku
pada 3M (menguras, menutup, dan mengubur) serta mengandalkan peran juru
pemantau jentik (Jumantik). Kedua hal ini menurut Prof Sri, sulit
dilakukan semasa pandemi Covid-19.
Ia mencontohkan program
penanggulangan dengue di Malaysia yang menggunakan teknologi. Di mana,
masyarakat diberikan sistem pemerangkap nyamuk sekaligus edukasi tentang
bentuk nyamuk Aedes Aegypti.
"Jadi setiap hari dilihat di
perangkapnya, apakah ada nyamuk Aedes atau tidak. Nanti jika ada,
tinggal lapor saja via WA ke dinas kesehatan. Ini kan sama seperti 3M
juga tapi pakai teknologi," tutur Prof Sri lagi.
Untuk itu,
pentingnya ada sinergi lintas sektor antara pemerintah, otoritas
kesehatan, dan pihak-pihak terkait dalam penanganan dengue di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan tema ISNTD-ADVA World Dengue Day Forum - Cross
Sector Synergies yang tidak hanya membahas pencegahan dan penanganan,
tapi juga mengoptimalkan penelitian dengue di Indonesia maupun Asia
Tenggara.
Ke depannya, Prof Sri berharap akan ada perhatian
lebih terhadap penanganan dengue di masa pandemi. Ia mengatakan meski
Covid-19 meningkatn, kewaspadaan masyarakat terhadap dengue tidak boleh
turun.
"Ini yang sulit memberi tahu masyarakat. Mungkin
sebentar ingat, tapi sebentar lupa lagi. Jadi perubahan perilaku ini
tidak mudah dan tidak boleh bosan, harus terus diingatkan," tutupnya.
*Sumber: suara.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar