Selasa, 30 Juli 2019 17:26:03
“T-U, TU,” kata Bu Guru ketika seorang anak 4 tahun tidak mendengarkan
instruksinya di kelas. Kemudian seluruh murid di kelas tersebut menjawab
keras “L-I, LI”. Dan segera sesudahnya, ramai berteriak bersama “Tuli!
Tuli! Tuli!”, sambil menunjuk si anak laki-laki beramai-ramai.
Ini
bukan kisah rekaan, ini cerita nyata, beberapa hari lalu di sebuah TK
negeri di Jakarta, yang seluruh komunitasnya merasa praktik
“perundungan” pada anak yang dilakukan oleh orang dewasa dan teman
sebaya bukan masalah.
Dalam pendidikan dan pengasuhan, serta
berbagai peran kita terhadap anak, kita sebenarnya selalu dihadapkan
pada pilihan. Sebagai guru dan orang tua, atau sebagai pengusaha buku
dan tetangga di jalan yang sama, kita seringkali berinteraksi dengan
anak berbagai usia.
Namun, kita jarang berefleksi soal apa yang
dirasakan tentang anak, apa yang dipikirkan mengenai anak dan apa yang
dilakukan terhadap anak. Pertanyaan esensialnya “Apakah kita
berorientasi pada anak?” dan pertanyaan mendasarnya “Apakah kita layak
menjadi pendidik atau pengasuh anak?”
Saya paham betul
pertanyaan dan pernyataan di atas bisa disalahpahami sebagai “serangan”.
Tetapi, setelah sekian lama bekerja di bidang ini--saya makin percaya,
bahwa paradigma adalah awal segalanya. Kita semua sepakat, bahwa anak
butuh dibiasakan “kuat” menghadapi tekanan kehidupan, “berjuang” melawan
kesusahan agar berhasil mengatasi berbagai tantangan masa depan. Tetapi
keselarasan paradigma tidak pernah sekadar tentang cita-cita yang sama.
Saya
selalu “menguji” paradigma saat pendidik berbicara tentang “cara”.
Jangan pernah lupa, menghadapi tekanan yang muncul dari orang yang tidak
memiliki dasar percaya--sering kali punya intensi jahat pada kita,
sangat berbeda dengan dibebani dan dikhianati oleh orang tua atau guru
sendiri yang kebablasan melakukan kekerasan dengan alasan anak “perlu
dibiasakan”.
Situasi pertama adalah bagian yang seringkali tidak
bisa dihindari dalam perjalanan hidup, situasi kedua adalah pelanggaran
hak, jebakan tak perlu, yang membuat keyakinan diri anak untuk berdaya
justru semakin rapuh.
Menghadapi tekanan di saat dewasa, dengan
modal interaksi di kelas dan ruang keluarga yang penuh cinta tanpa
syarat di masa anak dan remaja, sangat berbeda dengan menghadapi
perundungan di usia dini. Berusaha membela diri sendiri di lingkungan
terdekat yang mestinya menjadi tempat aman bagi tumbuh kembangnya.
Situasi
pertama mendukung anak memiliki kemampuan beradaptasi dan mencari
solusi, situasi kedua adalah prediktor utama seseorang yang tidak mampu
menginisiasi dan menunjukkan kompetensi.
Berpihak pada anak
bukan sekadar mantra, tapi dilema berkelanjutan yang menjadi keputusan
harian kita. Apakah kita berorientasi pada anak atau tidak, adalah
kumpulan interaksi berkelanjutan yang menentukan keberhasilan mencapai
tujuan.
Sebagian kita memilih untuk menilai anak, bukan ingin
tahu tentang anak. Berhenti pada “skor” rendah atau tinggi dalam ujian,
seberapa kurus atau gemuk anak di atas timbangan--tanpa menginterpretasi
lebih jauh apa makna di balik setiap standar.
Sebagian kita yang
lain dipenuhi emosi “tak puguh”, sampai ke titik memandang anak sebagai
masalah. Memikirkan diri kita sendiri memang manusiawi, tetapi
menganggap apa yang dilakukan anak semata bertujuan untuk mengganggu,
jelas menunjukkan bahwa kita perlu lebih dewasa dalam memaknai interaksi
lintas usia. Kita perlu percaya bahwa anak adalah sekutu utama, yang
menuju tujuan yang sama--apa yang terbaik untuk kepentingannya. Sebelum
mempertanyakan intensi anak, mari bertanya tentang intensi kita yang
mendapat amanah menjaganya.
Salah satu pikiran utama kita
mengenai anak yang biasanya mendominasi adalah kekurangannya. Jarang
sekali kita melihat bahwa dalam kesulitan, anak sedang mengkomunikasikan
kebutuhannya. Hal ini seringkali membuat kita mencari solusi yang
justru membuat kekurangannya makin tampak sehari-hari, serta melupakan
bahwa kelebihan anak sering kali adalah titik tolok yang lebih berarti
untuk mengurangi kesenjangan antara perilaku anak dengan ekspektasi.
Coba
pikirkan kembali, saat anak tidak menyelesaikan tugas misalnya,
kecenderungan kita justru menambah beban pekerjaannya--bukan berpikir
tentang tingkat tantangan yang sesuai untuknya, atau dukungan pengaturan
waktu maupun pengayaan keterampilan dasar yang membantunya.
Kita
yang berorientasi pada anak, akan punya harapan yang tinggi kepadanya,
untuk mencapai semua tujuan pendidikan dan pengasuhan. Kita akan
membuktikan bahwa semua anak bisa mencapai puncak capaian, selama kita
memperhatikan kesiapannya dan menumbuhkan kompetensinya.
Kita
yang berorientasi pada suatu standar administrasi atau beban kurikulum
atau tuntutan apapun di luar anak, akan dengan cepat menilai
kemampuannya--mengklasifikasi anak dengan berbagai cara, pintar atau
bodoh, berpotensi atau tidak layak dapat atensi. Begitu banyak contoh,
di desa maupun di kota, pulau terpadat ataupun terluar di Indonesia yang
menjadi bukti kesenjangan kesempatan dan capaian, serta menunjukkan
masalah pemerataan dalam ekosistem pendidikan kita.
Di dalam
sistem besar sebagai negara dan warganya, di dalam sistem kecil sebagai
keluarga dan anggotanya, kita perlu berpikir ulang tentang apa yang kita
lakukan terhadap anak. Praktik menghukum dan menyogok anak masih sering
kita praktikkan, bahkan saat kita merasa mendukung Indonesia yang anti
korupsi. Anak kita butuh ditumbuhkan kemandiriannya dengan disiplin dan
dukungan lingkungan sejak dini, bahkan sejak pemberian ASI.
Di
percakapan sehari-hari, kita mungkin sudah sering mengapresiasi anak
yang menurut kita layak dipuji, namun masih jarang dengan sengaja
memastikan bahwa semua dan setiap anak di sekitar kita dihormati.
Tulisan
ini sengaja disebarkan sesudah segala perayaan dan unggahan tentang
hari anak. Momen yang bermanfaat, dan mestinya menjadi pengingat.
Memenuhi hak anak, generasi masa depan, seharusnya menjadi pekerjaan
harian. Bukan untuk dikebelakangkan atau dilupakan setelah mendapat
penghargaan tahunan.
Apalagi diabaikan dengan alasan “saya juga
dulu dibegitukan”. Suara anak sering kali kurang kuat. Kurang nyaring
untuk didengarkan di dalam kelas, kurang penting untuk dipertimbangkan
dalam kebijakan, kurang genting untuk mendorong kita melakukan
perubahan. Mari merayakan anak, setiap hari!
*Sumber: kumparan.com