Minggu, 17 Maret 2019 18:13:08
Alasan estetis atau kebersihan biasanya jadi sebab banyak perempuan
berupaya menghilangkan bulu ketiak mereka. Misalnya saja Inggrid.
Bulu-bulu yang tumbuh di balik kedua lengannya itu membuat ia risih
ketika mengenakan baju tanpa lengan.
Inggrid kerap mencukur sendiri bulu ketiaknya. Tapi ia tak puas, sebab warna kulit ketiaknya tampak jadi lebih gelap.
Akhirnya
Inggrid memilih untuk memasrahkan nasib bulu-bulu di ketiaknya kepada
salah satu klinik kecantikan di Plaza Senayan, Jakarta Pusat.
Harapannya, bulu-bulu itu hilang total dan kulit ketiaknya bersih cerah
sehingga ia bisa bebas mengenakan aneka mode pakaian.
Demi
mencapai targetnya itu, Inggrid memilih teknik perawatan dengan
teknologi terkini berupa kombinasi cahaya dan laser yang harganya lebih
mahal ratusan kali lipat ketimbang alat cukur biasa. Melaser ketiak itu
pun tak cukup sekali ia lakukan.
“Kalau zaman sekarang mungkin
kalau cewek ada bulunya, kurang enak aja dilihat,” ujarnya. Hari itu
kali ketiga Inggrid melaser ketiaknya di klinik langganannya.
Agar
bulu ketiaknya benar-benar hilang dan bersih, Inggrid setidaknya perlu
melakukan perawatan underarm hair removal seharga Rp 750 ribu itu
sebanyak 8-12 kali. Artinya, ia perlu menghabiskan uang minimal Rp 6
juta hingga Rp 9 juta demi membabat habis bulu ketiaknya tersebut.
Setiap
kali selesai laser, Inggrid benar-benar harus menjaga kondisi kulit
ketiak yang lebih sensitif dibanding kulit bagian tubuh lain. Ia tidak
boleh mandi air hangat, tidak boleh berolahraga, tidak boleh terlalu
banyak berkeringat, tidak boleh berenang, dan harus melepas penggunaan
deodoran sementara waktu.
Sederet pantangan itu harus ia patuhi selama dua hari penuh demi menghindari iritasi atau rasa gatal terjadi di kulit ketiaknya.
Sementara
Grace, dengan alasan kebersihan, lebih memilih menggunakan teknik
waxing untuk menghilangkan bulu ketiaknya. Harganya setengah lebih murah
dibanding teknik laser, namun setengah sisanya mesti ia bayar dengan
jerit kesakitan setiap kali bulu ketiaknya itu mulai ditarik dari
akarnya.
Bagi Grace, itu bagian dari caranya merawat dan
membersihkan tubuh. Demi kepuasan diri, ia rela terserang rasa sakit
ketika waxing atau rasa gatal yang timbul setelahnya.
Waxing ia
pilih bukan hanya untuk bulu ketiak saja, melainkan juga bulu kemaluan.
“Kalau pakai alat sendiri dari dulu dikasih tahu nggak boleh, arena
tumbuhnya (bulu) nggak bagus,” kata Grace via telepon, Rabu (13/3).
Namun,
jika kebersihan dan keindahan menjadi alasan wanita menghilangkan bulu
ketiaknya, mengapa hal yang sama tidak berlaku bagi laki-laki?
Rebecca
Herzig dalam buku Plucked: A History of Hair Removal bercerita, pada
tahun 1770-an para naturalis dan koloni Inggris terkejut melihat kulit
bebas bulu milik suku Indian. Kemudian di tahun 1871, Charles Darwin
menerbitkan buku Descent of Man.
Dalam buku tersebut, menurut
Herzig, tergambar bagaimana para naturalis terobsesi pada karakteristik
berbagai ras manusia, termasuk soal rambut yang bisa tumbuh lebih lebat
bagi suku tertentu. Hingga muncul pertanyaan, apakah keberadaan rambut
di tubuh manusia menjadi tanda penyakit, evolusi anatomi tubuh yang
terbelakang, atau bahkan primitif.
Sementara menurut Christine
Hope dalam tulisannya berjudul Caucasian Female Body Hair and American
Culture, kebersihan kulit dari bulu-bulu hanya ditujukan untuk salah
satu jenis kelamin, yakni perempuan. Ada dua asumsi yang melandasi hal
tersebut.
Pertama, definisi laki-laki dan perempuan yang
diposisikan sebagai kutub yang berseberangan. Maka karakteristik feminin
dan maskulin haruslah berlawanan, mulai dari karakteristik tubuh hingga
sifat-sifat yang dimiliki—memiliki dada-tidak memiliki dada, tidak
berambut-berambut, lembut-kasar, dan sebagainya.
Asumsi
berikutnya adalah imaji bahwa perempuan adalah manusia yang tumbuh tidak
sempurna, atau serupa anak-anak. Sebab, ketiadaan bulu yang tumbuh
selain di atas kulit kepala bukanlah tanda wanita dewasa, melainkan anak
kecil. Justru tumbuhnya bulu di kaki, ketiak, dan kemaluan merupakan
hal wajar baik bagi perempuan maupun laki-laki yang telah masuk masa
pubertas dan dewasa.
“Praktik menghilangkan rambut pada tubuh
perempuan dapat dilihat sebagai budaya yang mendorong perempuan menolak
kedewasaannya. Ketiadaan bulu di tubuh bukan berarti menjadi wanita,
melainkan ‘seperti anak-anak’,” tulis Hope.
Asumsi tersebut
kemudian diperkuat dengan iklan-iklan yang menggunakan frasa seperti
‘selembut bayi’, ‘sentuhan bayi’, dan sebagainya. Keberadaan iklan itu
kian mendorong perempuan untuk mencukur bulu di tubuhnya.
Pada
1914, majalah perempuan Harper’s Bazaar memuat iklan pencukur bulu untuk
kali pertama. Pisau cukur merek Gillette mengeluarkan produk terbaru
khusus untuk perempuan yang dinamakan Milady Décolleté.
Setahun
kemudian, Gillette menggalakkan kampanye anti-bulu ketiak mengingat
zaman itu mulai muncul tren pakaian tanpa lengan (sleeveless). Bulu
ketiak dianggap sebagai bagian tubuh yang tidak berguna, buruk rupa,
tidak diinginkan (oleh pria), dan tidak modis.
Pandangan ini
kemudian berkembang dan meluas seiring tren produk pencukur bulu, mode
pakaian tanpa lengan, rok pendek, hingga bikini. Keberadaan bulu di
tubuh perempuan dipersoalkan. Bukan hanya bulu ketiak, tapi juga bulu
kaki dan bulu kemaluan.
Pandangan anti-bulu merambah Indonesia
pada akhir 1990-an. Sebelumnya, artis-artis Indonesia tahun 1970 dan
1980-an dengan percaya diri menunjukkan bulu ketiak mereka. Bahkan,
“Bisa jadi salah satu standar kecantikan dan tren,” tulis sejarawan muda
Fandi Hutari dalam artikel Menyibak Artis Berbulu Ketiak yang dimuat
Historia.
Jauh sebelum bulu ketiak Eva Arnaz melejit melalui film
Lima Cewe Jagoan (1980), ada pula peragawati bernama Dally Damayanti
yang sukses di tahun 1970-an. Majalah Varia pada 16 Maret 1975 menulis,
“Apakah sukses Dally yang subur dengan jerawat di mukanya ini berkat
‘ajimat’ bulu keteknya yang lumayan lebatnya ini? Tentu Dally sendirilah
yang lebih tahu bukan?”
Bulu ketiak pada masa itu justru
dianggap memiliki daya tarik seksual. Cara Joseph Oliviero dalam artikel
Segi-segi Keindahan Ketiak menulis, “Ada semacam tendensi pada mereka
yang menyatakan bahwa perempuan yang punya bulu ketiak lebat punya
kemampuan seks besar.”
Kala itu, tak ada anggapan bahwa perempuan
yang tidak mencukur bulu ketiak adalah perempuan jorok dan pemalas.
Namun tren tersebut lalu memudar seiring kian kuatnya berbagai iklan
alat cukur dan tren mode pakaian.
Secara medis, tak ada persoalan
berarti terkait pilihan mencukur atau tidak mencukur bulu ketiak.
Pilihan itu biasanya didorong soal kosmetik belaka, baik secara langsung
maupun tidak.
Sesungguhnya, bulu ketiak yang tumbuh di balik
lipatan antara lengan dan pundak itu berguna untuk melindungi kulit dari
gesekan sehingga ia tak mudah lecet. Fungsi ini cukup penting karena
kulit ketiak cenderung lebih sensitif dan lembab.
Maka, dicukur atau tidak itu bulu ketiak, yang terpenting adalah menjaga kebersihannya.
“Fungsi
utama bulu untuk proteksi kulit terhadap panas, dingin, mikroba, zat
kimia, karena kulit adalah organ tubuh paling luar. Kedua, untuk
membantu proses pengaturan suhu, lewat keringat atau pembuangan toksin,”
kata dokter kulit dan kelamin, Gloria Novelita, kepada kumparan di
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (14/3).
Menurut Gloria,
pilihan paling aman jika ingin menghilangkan bulu ketiak adalah dengan
menggunakan laser. “Yang paling simpel adalah dengan mencukur… Sementara
laser adalah pilihan yang tepat dan safe karena sangat selektif,”
ujarnya.
Gloria mengamini bahwa tren mencukur bulu ketiak sangat
dipengaruhi oleh iklan dan mode. “Nggak bisa dipungkiri, zaman sekarang
kan all about looks.”
Gerah dengan standar kecantikan kulit mulus
tanpa bulu membuat sebagian perempuan kemudian memulai protes Armpit
Hair Movement. Tahun 2015, artis ternama seperti Miley Cyrus, Lena
Dunham, dan Madonna gencar menyuarakan gerakan ini.
Artis-artis itu memotret dan mengunggah gambar ketiak mereka ke media sosial, lalu membubuhkan tagar #armpithairdontcare.
Januari
2019 juga muncul gerakan #januhairy yang viral di seluruh dunia.
Gerakan menumbuhkan bulu ketiak yang kemudian dicat warna-warni layaknya
pelangi ini diinisiasi oleh Laura Jackson, siswi asal Inggris yang
merasakan perbedaan positif setelah menumbuhkan bulu ketiaknya.
Bagi
perempuan, pilihan untuk mencukur atau tidak mencukur bulu tubuh
sepenuhnya ada di tangan mereka. Yang penting tetap nyaman dan percaya
diri dengan tubuh sendiri.
“Perempuan punya otoritas akan
tubuhnya. Artinya gini, saya dicukur atau nggak dicukur tuh I'm stilll a
woman. Saya punya bulu ketiak atau nggak, saya pantas dicintai,” ucap
Zoya Amirin, psikolog yang mendalami ilmu seksologi.
Ini seperti petuah Tika & The Dissidents untuk merayakan kemerdekaan tubuh sendiri.
Ini
suaraku, tubuhku, otoritasku Yang kuteriakkan, kenakan, pilihanku Ini
untukmu, sahabatku laki-laki Tanpa izinku kau tak masuk ke wilayahku.
*Sumber. kumparan.com