Jum'at, 05 Juni 2020 17:10:01
Coba perhatikan. Apakah kamu menjadi orangtua yang lebih sering marah kepada anak di tengah tekanan masa pandemi Covid-19?
Jika iya, maka kamu sebenarnya tak perlu khawatir. Sebab, kamu tidak sendirian.
Ketika keluarga "terjebak" hanya berada di dalam rumah, disadari atau
tidak orangtua memang memiliki kecenderungan untuk menjadi lebih mudah
marah.
Ada pula rasa frustrasi terhadap anak-anak akibat pandemi ini, hingga memicu hilangnya kesabaran orangtua.
“Kelanjutannya
adalah orangtua biasanya lalu merasa sangat bersalah, menyesal, karena
sempat kehilangan kesabaran," kata Psikiater di Pusat Kesehatan
Psikologis Singapura, Dr Lim Boon Leng.
Kondisi tinggal di rumah
memang berpotensi meningkatkan kadar stres pada orangtua terkait
berbagai isu dan masalah yang menjadi pemicunya.
Theresa Pong,
Penasihat Utama di Focus on the Family Singapore, yang biasa memberikan
pendampingan kepada pasangan suami-istri memberi pendapat tersebut.
Ada
kondisi, seperti cabin fever yang terjadi seperti tanpa jeda, hingga
kewajiban merawat anak-anak sendirian sambil tetap harus memenuhi
komitmen kerja.
Belum lagi, kondisi yang memaksa suami-istri bekerja berdekatan di
rumah, kekhawatiran tentang keuangan, kesehatan, dan hal-hal menyangkut
gaya hidup keluarga.
Di saat orangtua memiliki harapan tinggi untuk bisa menghabiskan
lebih banyak waktu dengan anak-anak, mereka juga harus menyeimbangkan
kondisi bekerja dari rumah, sambil merawat anak-anak.
Pada akhirnya, garis tegas yang semula memisahkan urusan pekerjaan dan keluarga, kini kian samar.
"Stres
tambahan dapat mengakibatkan kekecewaan dan bahkan kebencian,
menyebabkan orangtua kehilangan regulasi emosional," kata Pong.
Ibu ternyata lebih stres daripada ayah
Meskipun stres dapat terjadi pada ibu dan ayah, namun ibu lebih rentan, karena mereka cenderung menjadi pengasuh utama.
Pandangan
ini diutarakan Christine Wong, pendiri dan pelatih psikotrauma utama di
Rhemaworks International -sebuah lembaga konsultasi swasta untuk
pelatihan dan terapi kehidupan dan pribadi.
Wong mengatakan,
data survei keluarga di Singapura, dengan responden 1.076 ibu di bulan
Maret dan April, telah membuktikan hal ini.
Ditemukan, sebanyak 60 persen ibu dari jumlah tersebut merasa tingkat stres mereka berada pada angka tujuh dalam skala 10.
Peningkatan data tersebut mencapai 52 persen dibandingkan survei serupa tahun lalu.
Laporan tersebut mencatat, para ibu juga berisiko mengalamai ganggguan kesehatan emosi dan mental.
Data
mengungkap, sebanyak 6:10 responden mengalami masalah kurang tidur,
karena terlelap hanya selama enam jam atau bahkan kurang.
Mengingat
kondisi tersebut, Wong mengatakan, orangtua harus lebih peka dalam
memerhatikan sisi emosional ini, dan apa yang tak boleh dilakukan kepada
anak.
Misalnya, menetapkan terlalu banyak aturan, lalu emosi menjadi terpicu ketika anak tidak mentaatinya.
Atau,
terlalu mengontrol dan menggunakan metode berteriak dan memukul, serta
menyalahkan anak atas kelakuan buruk. Hal-hal ini sebaiknya dihindari.
“Yang benar adalah, itu bukan kesalahan anak itu."
"Anak
itu hanya menjadi anak kecil. Kita semua tahu ini, namun secara tidak
sadar kita mengharapkan mereka memiliki kapasitas intelektual dan
perilaku orang dewasa,” kata Wong.
Hal ini patut diperhatikan
dengan baik, karena orangtua dapat menimbulkan trauma emosional yang
tidak disadari, ketika mencerca anak dengan sebutan nakal atau bodoh.
"Dampak sama buruknya pun bisa muncul ketika orangtua membuat anak mereka bersalah," kata dia.
Seiring waktu, trauma tersebut menjadi tertanam dalam sistem kepercayaan anak.
Lalu, ketika suatu saat nanti mereka menjadi ibu dan ayah, mereka
berpotensi mengulangi pola perilaku negatif yang mereka alami, dan itu
akan menjadi lingkaran setan.
Bagaimana stres orangtua melukai anak Dr
Lim menjelaskan, dalam jangka pendek, anak-anak yang terluka secara
emosional memang dapat menjadi seperti semakin dekat dengan orangtua.
Sebab, ada perasaan takut akan ditinggalkan.
"Parahnya, dalam
jangka panjang, jika pelecehan emosional terus berlanjut, anak bisa
tumbuh dengan harga diri yang rendah, kecemasan, depresi, dan gangguan
kepribadian," kata dia.
Pong mengingatkan, ketika anak terlihat
ulet dan dapat mengatasi kesulitan, hal ini pun seharusnya tidak menjadi
alasan bagi orangtua untuk "melegalkan" pelakukan kasar terhadap
mereka.
“Sebagai gantinya, kita dapat mengubah 'momen pengasuhan
yang gagal' seperti itu menjadi momen belajar baik untuk anak-anak, dan
diri kita sendiri,” kata dia.
Jika kemarahan dan reaksi
berlebih sudah terjadi, maka hal itu bisa mulai diperbaiki dengan
mencoba mengakui kesalahan kepada anak.
"Meminta maaf kepada anak mereka atas reaksi atau perilaku yang salah tempat atau salah arah adalah hal yang baik."
"Lalu,
mulailah memproses cara yang lebih baik untuk mengatasi stres,
ketegangan, atau perilaku buruk bersama, ketika hal itu terjadi
kembali," sambung Pong.
*Sumber: kompas.com